Kata orang, keras kepala dan bodoh itu bedanya setipis kertas. Nah kalau menurutku, bodoh dan terlalu baik itu juga bedanya setipis kertas. Malah lebih tipis lagi. Setipis daun bawang mungkin? Atau setipis selada? Tunggu, yang mana yang lebih tipis ya?
Udahlah. Itu nggak penting. Aku menulis ini bukan untuk mendiskusikan ketipisan antara kertas, daun bawang dan selada. Aku menulis ini karena aku benar-benar kesal menjadi salah satu jenis orang yang kutulis di atas itu.
Keras kepala, itu memang aku. Terlalu baik, kadang aku juga begitu. Dan bodoh... Itu sifatku setiap saat. Apalagi dalam konteks situasi yang terjadi saat ini. Keras kepala jelas bukan diksi yang cocok untuk menggambarkannya. Terlalu baik juga gak mungkin, karena aku nggak terlalu sering bersikap begitu. Jadi intinya, aku bodoh.
Iya benar.
Aku bodoh.
Mungkin menurut kalian, aku ini hobi benar melebih-lebihkan masalah, membuat masalah kecil jadi serius untuk alasan yang nggak jelas. Tapi suer, bukan itu maksudku. Aku hanya nggak pernah suka memikirkan kenapa orang-orang suka banget mengingkari janjinya. Kalian harus bisa membedakan ya, membatalkan janji dengan mengingkari janji. Yang membuatku kesal itu cara mereka mengingkari janji. Apa sesulit itu memegang janji? Apa sesulit itu memenuhinya? Apa sesulit itu menjaga perasaan seseorang? Itu bukan hal yang sulit seperti halnya ikut ujian masuk universitas negeri!
Ini mungkin memang cuman janji sederhana. Tapi justru kalau seseorang bahkan nggak bisa memegang janji sesederhana ini, gimana mungkin kamu memercayainya untuk janji yang lebih besar di masa depan nantinya? Oke, kamu mungkin bakal memercayainya, itu kalau kasusnya kepalamu terbentur sejenis benda tumpul dan kamu mendadak idiot. Itu satu-satunya kemungkinan kamu bisa memercayainya lagi.
Contohnya aja, oke, ini cuman misalnya, nggak ada hubungannya sama sekali dengan masalahku. Jadi misalnya aja, kamu janji makan malam dengan cowok atau cewekmu. Lalu, setelah kamu dandan habis-habisan, mengenakan pakaian terbaikmu, mencoba menenangkan hatimu yang kelewat kegirangan dan sampai ke tempat tujuan sejam lebih awal dari waktu yang dijanjikan saking gugup dan nggak sabarnya, lalu setelah kamu menunggu berjam-jam lamanya, orang yang kamu nanti-nantikan itu nggak pernah datang. Dan akhirnya, setelah kamu melahap dua piring nasi goreng, menghabiskan lima gelas orange juice, setelah tempat yang dijanjikan itu hampir tutup, dia juga gak muncul. Kalau kamu beruntung, dia bakal menelpon di saat-saat terakhir. Coba kutanya, gimana perasaanmu?
Lalu, apabila janji sekecil itu aja nggak bisa dipenuhi, apa kamu mau menerima resiko untuk memercayai janji-janji lainnya. Oke, contohnya aja kamu dilamar atau kamu melamarnya. Lalu kalian bersumpah setia untuk hidup bersama, kamu yakin dia bisa memegang janji sebesar itu, sedangkan janji sepele aja nggak bisa dia pegang?
Oke, oke. Kalian boleh bilang aku mikir kejauhan. Atau aku terlalu hiperbola. Atau aku terlalu berpikiran negative. But come on, I just reveal the truth. Coba pikir baik-baik!
Masalahku sama sekali nggak persis dengan yang kusebut di atas. Ini malah janji yang lebih sepele lagi. Kami berjanji untuk melakukan sesuatu bersama-sama. Aku menunggu mereka. Sampai bosan, sampai aku entah menguap berapa kali, sampai aku mencari kesibukkan lain dan akhirnya memutuskan keluar untuk makan. Dan bravo! They broke their promise! They left me! They're gone! They are... Jerks.
Kejadian lainnya, aku dan seseorang berjanji untuk berangkat ke suatu tempat sama-sama. Lalu aku menunggunya. Lama sekali sampai aku bolak-balik melirik ke arah jam, kami benar-benar bisa telat kalau dia nggak muncul juga. Jadi aku memutuskan menelponnya, dan tau dia bilang apa? Dia sudah pergi duluan dengan temannya yang lain dan meninggalkanku yang hampir terlambat itu sendirian!
Sendirian!
Dan aku telat? Ya. Aku telat. Karena siapa? Karena dia? Bukan. Karena aku sendiri. Karena aku yang terlalu bodoh, begitu mudah memercayai orang lain!
Bukan hanya ini. Masih banyak lagi kejadian-kejadian lainnya yang membuatku benar-benar kesal. Apalagi yang semalam, di saat yang bersamaan, aku dibohongi, dimarahi, ditimpa kemalangan dan akhirnya kekesalan yang menumpuk itu meledak nggak karuan. Aku marah besar. Aku ngomong kasar, sekasar-kasarnya. Dan memang aku kekanak-kanakkan. Aku bukan urstad atau biksu yang sabar-sabar aja dibegitukan. Aku punya emosi. Aku bukan makhluk non ekspresi seperti biksu Takuan di novel Miyamoto. Aku nggak secuek dia. Aku nggak sedingin dia dan aku nggak... Sebijaksana dia.
Hey, aku nggak terlahir untuk dibodoh-bodohi! Aku nggak terlahir untuk jadi korban pembohong. Aku memercayai orang lain bukan untuk dikhianati. Aku memercayai orang bukan untuk disakiti! Dan kalau setelah ini aku belum jera lagi memercayai orang, oh, berarti aku betul-betul bebal!
Aku tau manusia nggak sempurna. Mereka bisa lupa pada janji yang mereka buat sendiri. Tapi kalau berkali-kali seperti ini? Kesilapan namanya? Kesalahan kecil? Kata maaf cukup?
Oh, bahkan nggak terdengar kata maaf itu, nggak terbersit pun secercah rasa bersalah. Nggak sedikit pun. Dan itu benar-benar membuatku marah besar, terluka dan meledak-ledak seperti merapi di Yogyakarta yang baru aja menyemburkan lahar panas.
Satu lagi. Aku nggak selamanya bodoh. Kalian kira aku ini apa? Bantalan tinju? Karung beras? Badut berjalan? Boneka beruang? Yang 'diapa-apain' juga gak bakal marah? Kalau cuman bercanda, aku nggak bakal marah. Sungguh. Tapi kalau dibohongi, dibodoh-bodohi, diperintah-perintah. Aku juga bukan hadiah dari kuis berhadiah. Misalnya, "Barang siapa yang berhasil ngebego-begoin Lisa akan dihadiahi mobil beserta uang tunai..."
Enak saja. Memangnya aku apa?
Jangan kira kalian bisa membodohiku. Nggak lagi. Aku nggak mau lagi jadi orang bodoh, atau jadi orang yang terlalu baik, mau aja disuruh-suruh mengerjakan peer orang lain. Kalau kalian mau, aku bisa membantu, tapi aku bakal jawab 'enggak' kalau kalian memaksaku mengerjakan seluruhnya. Itu peer kalian. Kerjakan sendiri, kecuali kalau kalian benar-benar bodoh dan nggak sanggup. Ya sudah. Berhenti bersekolah. Menikah atau jadi orang nggak berguna lainnya daripada harus menyusahkan orang lain.
Dan berhenti mengataiku sombong kalau aku nggak mau dibodohi oleh kalian. Berhenti mengolok-olokku kalau aku nggak mau di-bully oleh kalian. Kalian menyebalkan. Kalian... Rendah. Benar-benar rendah.
I quit. You win. Bravo!
emang kadang nyebelin si kalo ad orang yg gitu, padahal uda ada janji sebelumnya, gw juga pernah kena gitu. Cuman menurut gw sabar aja, ngapaen juga dibawa marah, toh mereka juga santai aja. Gw hanya ketawa2 aja pas digituin.
ReplyDeleteTapi tentang janjian ama pasangan, itu bukan janji kecil kalau menurut gw.
Lu bukan bantalan tinju, karung beras, atau badut berjalan kok atau boneka beruang kok. Lu hanya sotong gendut pendek gemuk aja :)
Gendut sama gemuk sama aja. Buat apa diulang2.
ReplyDeleteGila km, bukannya ngehibur malah masih bisa ngeledekin. Grrr... Sekali sarap tetep sarap! @.@