Thursday, September 27, 2012

Kabut tebal

Entah udah berapa lama aku nggak menulis dengan bahasa Indonesia. Rasanya pengen aja, bukan karena lagi cengeng atau apa. Pokoknya aku benar-benar ingin menulis dengan bahasa ini.

Jadi intinya, aku benar-benar nggak tau gimana caranya dua orang yang punya kepribadian yang sungguh berbeda bisa bersatu. Kalaupun bisa, aku nggak tau hanya bisa sampai kapan. Aku pesimis soal itu. Yang satu terlalu peduli dan yang satunya nggak peduli sama sekali. Aku rasa dua-duanya bakal terluka. Orang yang terlalu peduli itu dilukai oleh ketidakpedulian yang satunya, sedangkan yang nggak peduli sama sekali itu bakal dilukai ketika melihat pasangannya terluka.

Yang aku lihat cuman kabut tebal. Nggak ada yang lainnya. Aku nggak tau darimana asalnya kabut itu. Entah ada yang salah dengan padanganku, atau mungkin kabut itu tercipta karena genangan air mata di mataku. Aku nggak tau. Nggak ada yang tau jawabnya, kecuali Yang di atas. Aku harap kabut tebal itu cuman air mataku, tapi entah sampai kapan aku harus meyakinkan diriku sendiri sesuatu yang bahkan belum pasti jawabannya. Aku tau suatu saat nanti aku bakal benar-benar lelah dan nggak tau lagi gimana caranya bangkit dan tersenyum. Mungkin aku harus mempersiapkan diriku untuk itu karena aku takut kalau aku bakal benar-benar hancur berkeping-keping dengan hati berdarah-darah.

Kalau diperlambat, gerakan yang ada di kepalaku persis satu adegan film yang "diperlambat" dan dipoles dengan tone "hitam-putih". Jadi semuanya bergerak serba lambat. Hanya aku yang berwarna, sedangkan sekelilingku nggak jelas dan penuh kabut. Aku berjalan perlahan, meraba-raba takut menyandung sesuatu karena semuanya serba tidak jelas. Lalu aku tersendung sesuatu dan jatuh tersungkur. Bukan jatuhnya yang menyakitkan, tapi bangkit sendiri tanpa ada seorang pun yang mengulurkan tangannya, itu yang paling menyakitkan. Lalu aku berdiri lagi. Samar-samar aku lihat cahaya di ujung sana. Samar. Benar-benar samar. Aku bahkan nggak yakin itu cahaya atau malah ilusiku saja. Tapi aku terus berjalan, berharap kalau imajinasiku tidak sehebat itu. Aku ingin kalau cahaya itu benar-benar ada.

Tapi lagi-lagi aku salah. Di balik cahaya itu, ada dua lorong yang berbeda. Ada suara yang bilang padaku kalau aku harus memilih yang kiri. Tapi aku terlalu terarah pada suara hatiku sendiri, jadi aku memilih lorong yang lain. Dari balik kabut tebal, aku melirik ke arah lorong yang tidak kupilih. Barulah aku tau kalau lorong yang kiri itu ada sebuah lubang besar yang dalam. Tapi sedalam-dalamnya, lubang itu masih bisa dipanjat kalau aku bersikeras. Diam-diam aku bersyukur karena memilih lorong yang lain.

Barulah aku tau kalau lorong yang kupilih itu penuh dengan duri-duri yang menyakitkan di sekelilingnya. Aku meringis ketika satu persatu duri itu melukai kaki, lengan dan sekujur tubuhku. Tapi ada yang lebih menyakitkan di sini. Tepat di ulu hati. Karena ternyata, lagi-lagi aku berjalan sendirian. Tapi aku terus melangkah, aku nggak bisa berhenti. Aku jalan terus sambil meraba-raba, tidak tau apa lagi yang akan kuhadapi di depan sana.

Sama seperti lorong di sebelah kiri. Kalau aku memilih lorong itu, dan aku terjatuh ke lubang yang dalam, aku mungkin nggak tau gimana caranya bangkit. Tapi saat aku memilih lorong kanan, aku dilukai duri-duri tajam itu dan akhirnya aku tenggelam dalam kesendirianku tanpa tau apa lagi yang akan kuhadapi di depan sana.

Aku nggak tau apa yang terjadi. Kabut tebal itu menutupi segalanya, padanganku, padangan semua orang. Kabut tebal itu juga yang membuatku takut. Takut kalau aku bakal berjalan ke arah yang salah. Kabut tebal itu yang membuatku tidak bisa melihat siapapun. Jadi aku tidak tau apakah aku sendirian, atau ada orang lain di sana, hanya saja tertutupi oleh kabut?

Entah. Jangan tanya aku. Itu yang harusnya aku tanyakan.

~Asa~