Monday, February 14, 2011

Dongeng Tragis dan Puisi Aneh

Aku sedang terinspirasi berat dengan yang namanya, "Hati Yang Mati" dan "Burung Nazar Hitam", makanya tadi aku menulis dongeng dan puisi dengan ide dasar di atas.

Aku nggak pintar menulis dongeng. Apalagi puisi. Biasanya aku menulis suatu cerita tentang cinta (walaupun aku jarang jatuh cinta), yang kesannya polos dan ringan (tapi kata orang-orang, romantis, aku juga nggak tau) dengan penekanan di bagian ending.

Dongengnya seperti ini, mungkin agak membosankan ya, jadi bagi yang memang suka membaca, bacalah. Tapi aku nggak menyarankan. Dan jangan mengejekku, karena dongeng ini mungkin nggak bagus dan puisinya pasti berlebihan.

Ada lagi. Aku nggak sedang patah hati. Jadi jangan kira aku sedang patah hati saat menulisnya =)

Dongeng ini tentang seorang kastria tampan yang jatuh cinta pada malaikat penari yang lincah dan gemulai dan yang wangi tubuhnya memabukkan.

Sang ksatria begitu tergila-gila pada malaikat perempuan yang rupawan itu. Ah ya, perhatikan saja. Malaikat itu cantik jelita, dengan sayap putih kemilau dan pipi yang merona merah jambu. Sang ksatria rela melakukan apa saja untuk si malaikat. Tanpa terkecuali. Ia mempertaruhkan nyawanya untuk melawan Raja Iblis, membangun tahta emas yang megah, serta merta juga mempersembahkan jantung naga gua legendaris yang ia bunuh demi pujaan hati.

Tidak hanya sampai di situ. seakan dibutakan oleh cintanya pada si malaikat, sang ksatria menciptakan taman yang dipenuhi bunga-bunga khayangan yang wanginya semerbak, yang juga siap dihuni oleh peri-peri penyanyi untuk menghibur si malaikat setiap hari. 

Malaikat memiliki sebuah permintaan. Ia minta dibangunkan menara kaca untuk melihat Bintang. Karena si malaikat begitu mengagumi Bintang dan sang ksatria begitu mencintai kekasihnya itu, ia pun menyanggupi permintaannya. Kemudian malaikat belum berpuas hati, ia meminta lagi pada ksatria dan menyuruhnya menemui Penyihir untuk menyihir agar Malam selalu di sana, sedangkan biarlah Siang pergi dan Matahari tidak lagi pernah muncul. 

Ia menemui Penyihir. Tidak gentar walaupun si Penyihir terkenal licik dan sangat jahat--dan hatinya telah membusuk. Penyihir kegelapan itu menyanggupi permintaan sang ksatria, sambil menyeringai penuh maksud dan menawarkan penukaran. Asalkan Sang Ksatria menukarkan kekayaan, keberanian, kesabaran dan akal sehatnya dengan malam-nya si Penyihir.

Tanpa pikir panjang, sang Ksatria menyetujui tawaran Penyihir. Kekayaan, keberanian, kesabaran dan akal sehatnya tidaklah terlalu penting. Apa yang ia takutkan? Ia punya sejuta cinta untuk si malaikat. Ia punya hati yang siap mencintai. Ia yakin si malaikat pasti akan tersentuh dengan ketulusan cintanya. 

Namun, naas, ternyata sang Ksatria salah. Salah besar, karena malaikat perempuan itu tidak pernah berpaling menatapnya. Malaikat itu begitu kegirangan, seakan melupakan semua pengorbanan Ksatria. ia menghabiskan sepanjang waktunya dengan menatap Bintang yang ia cintai lekat-lekat, seakan sepasang matanya telah terpaku dan tertambat pada sosok itu. Sang Ksatria telah benar-benar dilupakan.

Tanpa kekayaan, Ksatria tak lagi bisa menyenangkan hati si malaikat. Ia tak lagi bisa membelikan macam-macam perhiasan, mahkota perak maupun harpa dari emas. Tanpa keberanian, sang Ksatria tidak pernah bisa mengutarakan perasaannya pada malaikat. Tanpa kesabaran, sang Ksatria terus-menerus terbakar api kecemburuan melihat kedekatan malaikat dengan Bintang.

Dan ironis, karena kehilangan akal sehat, sang Ksatria yang tak mampu menahan kecemburuan dan kebenciannya itu, memakai pedangnya sendiri, menghunuskannya ke dada, dan membelahnya menjadi dua bagian. Agar rasa sakit yang dideranya pergi, ia mencongkel hatinya sendiri,yang memang telah luka parah karena nyaris habis terbakar, lalu menguburnya tepat di bawah menara kaca yang ia bangun untuk malaikat. 

Sang Ksatria tersenyum pahit. Kini, ia tidak lagi merasakan sakit. Mencium bau darah , satu demi satu burung-burung Nazar hitam berterbangan ke arahnya, mematuk-matuknya hingga ia mati dan kemudian memakan bangkainya.

Burung-burung Nazar hitam itu kembali terbang, berarak-arak, menghilang menyebrangi lautan.

Tragis memang. He-eh. Dan mungkin membosankan. I bet, orang yang membaca ini mungkin sudah tertidur di depan monitor atau bahkan menutup page ini karena begitu jeleknya dongeng ini. 
Biarlah. Aku kan udah bilang kalau aku nggak pintar menulis dongeng. Yang ingin kusampaikan itu pesannya: Jangan mencintai seseorang sedalam itu, sampai rela mengorbankan segala-galanya. Lihat saja sang Ksatria itu. Bodoh kan? 

Next, puisi. Aku baru beberapa kali membuat puisi. Jadi pasti masih banyak yang kurang dalam puisi ini

Mendung menangis sendu,
Riakkan air dan deru kapal yang karam,
Lantangnya ombak yang mengecup bibir pantai,
Berangsur-angsur berlalu, 
menghilang di bawah bulan separuh.

Sakit yang menyakiti, tawa yang juga meracuni,
Hatiku berdarah-darah, hancur, 
dan akhirnya lenyap,
Cinta yang datang dan cinta yang pergi,
Bahagia menghampiri, namun duka tak jua merayap pergi.

Oh, rupanya kuletakkan di sana hatiku,
Aku sudah membunuhnya dengan risau
yang lama tak mau menyingkir,
Serta merta aku tertawa dalam tangis,
dan tersenyum dalam sedih
Yang pedih hati tapi raga ikut menangis.

Mengalir, banjir dan menganak sungai,
Hujan serta air di pelupuk mata,
Lalu berarak-arak datang mendekati,
Burung-burung Nazar hitam itu.

Apa yang ingin mereka mangsa?
Apa yang hendak mereka ambil?

Ah, aku mengangguk 
dalam keingintauanku sendiri,
Ternyata hatiku yang telah lama mati.

~ASa~

No comments:

Post a Comment