Sunday, July 17, 2011

Terang. Redup. Terang. Redup

Mungkin benar kata orang-orang. Jangan bermimpi terlalu tinggi, karena sekali kamu terjatuh, bakal bukan main sakitnya. Mungkin topik seperti ini udah terlalu umum untuk dibicarakan.


Jadi yang terang, redup, terang, redup itu mimpiku. Kalau kalian tanya, mimpi yang mana? Mimpi terbesarku. Mimpi yang udah kutemukan sejak aku masih duduk di bangku SMP. Mimpi yang udah sangat dekat, aku hanya perlu menjulurkan tanganku sedikit lebih jauh, tapi mungkin sayangnya tanganku terlalu pendek untuk itu, dan aku belum juga berhasil. Mimpi itu juga adalah mimpi yang selalu ingin kubuktikan bahkan sejak sebelum aku menemukannya. Aku punya motivasi yang cukup mulia untuk mewujudkannya. Tapi entah kenapa sampai sekarang mimpi itu belum tercapai, seakan semua kerja kerasku belum cukup, seakan semua talenta yang kumiliki palsu, dan seakan semua doa yang kupanjatkan tak cukup kuat.

Tapi kecintaanku akan menulis lebih kuat daripada keinginanku untuk menyerah. Aku cinta akan menulis bahkan jauh sebelum aku sadar akan itu. Dan seberapa besar cinta itu, nggak akan bisa terlukiskan dengan kata-kata. Intinya, seberapa besar cinta itu adalah sesuatu yang nggak ternilai. Tapi, apa cinta aja cukup untuk mewujudkan mimpi?

Jangan bilang aku nggak bekerja keras untuk yang satu ini. Aku berjuang, menaruh harapan tapi gagal. Aku berjuang lagi, menaruh harapan lagi, tapi gagal lagi. Begitu seterusnya sampai aku lelah dan benar-benar kepengen vakum dari menulis (ceilehh, serasa penulis terkenal aja). Aku berhenti selama beberapa bulan. Tapi nggak sanggup. Menulis satu-satunya hal yang kucintai sangat dalam dan bertahan sangat lama--bertahun-tahun sejak SMP sampai sekarang. Aku nggak bisa mencintai hal lain sedalam aku mencintai menulis. Aku nggak punya keinginan lain yang lebih besar selain keinginanku untuk jadi penulis. Bahkan keinginanku untuk cepat-cepat menguasai bahasa Jepang dan tinggal di negeri itu di masa depan nanti juga nggak bisa mengalahkan seberapa kuat hasrat terpendamku untuk jadi penulis. Dengan kalimat lain yang dipersingkat, aku nggak mampu hidup tanpa menulis. Menulis udah seperti nafas buatku. I can't live without it.

Tapi jangan salah. Aku menulis bukan hanya karena kecintaan semata. Aku menulis karena aku ingin tulisanku setidaknya memberikan 'sesuatu' pada orang yang membacanya. Karena dengan begitulah aku baru pantas disebut 'penulis'. Dan kalau aku gagal memberikan suatu pelajaran bagi pembaca, itu artinya aku juga gagal dalam ambisiku menjadi penulis.

Harus berapa lama aku bermimpi? Atau memang ini emang cuman ditakdirkan sebagai "mimpi" dan bukan "kenyataan"? Kapan mimpi ini bisa jadi kenyataan? Apa aku masih belum cukup lama bersabar?
Aku benar-benar nggak mengerti dimana letak kesalahan yang harus kuperbaiki. Aku nggak pernah bilang kalau aku sempurna juga, since I knew no one's perfect. Tapi kenapa sih susah sekali mewujudkan mimpi yang satu ini? Aku nggak merasa lebih buruk dari penulis-penulis yang berhasil menerbitkan karyanya, tapi kenapa? Kenapa? Setelah sekian lama mana bisa aku terus duduk diam bersabar sementara aku udah mencoba terlalu keras hingga hatiku ikutan kebas.

Sebenarnya sewaktu salah satu penulis yang udah berhasil menerbitkan novel membaca karyaku dan dia bilang kalau karya itu ada sesuatu yang "bagus banget", plus dia menyuruhku mengirimkan ke salah satu penerbit, aku merasa hidupku berada dalam titik terang. Tapi kalau memikirkan karyaku bakal ditolak lagi, itu membuatku mundur ke titik redup. Istilahnya, aku maju selangkah tapi mundur tiga langkah. Bukan sesuatu yang benar-benar brilian untuk ditiru.

Jadi sebenarnya kegagalan-kegagalan itu ada di kepalaku sendiri. Actually, if we never try, we'll never know. Tapi aku benar-benar takut bakal ditolak lagi, mengingat satu penerbit udah menolak naskahku mentah-mentah dan itu cukup bikin aku berada dalam titik GELAP selama berminggu-minggu. aku benar-benar berharap kalau kali ini karyaku bisa diterima. I wanna be a writer. Bukan karena uang. Bukan karena nama. Tapi karena cinta dan keinginan.

Terang. Redup. Terang. Redup. Aku harap lanjutannya BUKAN "Gelap Gulita" atau "Mati" atau "Nggak nyala lagi". Aku ingin lanjutannya "TERANG BENDERANG" "TERUS MENYALA" semacam itu. Well, tapi aku nggak mau berharap terlalu banyak. Too much hope will kill you.


Jadi bolehkah aku terus mencintai menulis? Atau sebaiknya aku nyerah aja?

Aku lebih memilih yang pertama. Tapi kalau semua kecintaan itu berakhir sia-sia, mungkin pilihan kedua nggak bakal jadi sebegitu buruknya.

~Asa~

No comments:

Post a Comment