Wednesday, May 6, 2020

Kacamata Yang Mana?

Salah satu alasan kenapa hidup itu nggak gampang, ya karena begitu banyak orang yang mengenakan kacamata yang berbeda dalam menanggapi suatu hal sederhana dan personal. Lalu, bayangkan, orang yang berkacamata cembung, memaksa orang yang rabun jauh untuk memakai kacamata yang sama. Menurutku, di dunia ini banyak banget orang-orang yang memaksakan cara pandangnya ke orang lain. Itu jelas bakal memicu argumentasi. Bagi yang berpikiran luas, tentunya bakal menerima kalau di dunia ini memang semua orang berbeda. Bagi yang berpikiran sempit, ya bisa-bisa ada perdebatan sengit atau bahkan tawuran xD

Belakangan ini aku sangat tertarik membahas soal peran suami dan istri dalam kehidupan rumah tangga. Faktanya, masalah rumah tangga yang menurutku cukup pribadi ini entah kenapa menjelma menjadi urusan publik dibumbui oleh perdebatan panjang yang nggak ada habisnya selama beberapa dekade. Bahkan, negara aja berusaha mengintervensi ruang pribadi rakyatnya (bagi yang ngikutin soal pembahasan RUU pasti mengerti :D tapi aku nggak akan bahas soal ini di sini).

"Suami ya harusnya cari duit. Itu bukan urusan istri. Istri ya di rumah aja, jaga anak."
Ada kalimat seperti itu yang masuk ke message Instagramku beberapa saat lalu.

"Istri harus tau cara cari duit, dong. Kalau nggak ya bego namanya. Nggak mandiri."
Ada juga yang malah berpikir sebaliknya.

Rasanya perdebatan seperti ini udah nggak asing, kan? Tentu, bahkan di dalam keluarga besarku sendiri yang jumlahnya nggak lebih dari lima belas orang, masih memperdebatkan siapa yang harus bekerja dan siapa yang harus di rumah.

Kali ini, aku ingin membagikan pemikiranku perihal peran suami-istri ini. Mungkin bukan pandangan yang terbaik bagi kalian, tapi tentu saja aku nggak memaksakan pandanganku. Aku cuman senang berdiskusi karena secara nggak langsung aku membuka pikiranku pada pendapat orang lain dan menilik lebih dalam kenapa mereka berpikir demikian. Dengan begitu, aku bisa mencoba bernegosiasi lagi dengan pendapat awalku dan merenungkan. Toh sebenarnya nggak ada pendapat yang benar dan salah, hanya masalah cocok atau nggaknya kacamata tersebut di diri kita masing-masing, kan?
Jadi aku harap, pandanganku kali ini bisa memberikan sesuatu baru bagi yang membacanya.

Mungkin aku banyak dipengaruhi oleh nilai-nilai feminis (terutama gelombang ketiga), aku percaya bahwa tiap orang punya hak untuk memilih. Menurutku, seorang istri berhak memilih jalan hidupnya sendiri. Begitu juga dengan si suami, karena kedudukan mereka sama. Nggak ada yang lebih tinggi ataupun lebih rendah. Intinya, setiap pasangan harus mendiskusikannya sebelum memutuskan untuk maju ke jenjang berikutnya.

Sangat disayangkan kalau seorang istri yang punya karir cemerlang dan potensi luar biasa yang dapat direalisasikan di luar rumah, "terpaksa" harus menimbun mimpi-mimpinya hanya karena ego seorang lelaki, plus karena sesuatu yang kita sebut "adat" atau "norma". Sebenarnya, norma itu berasal darimana? Bukankah diciptakan oleh manusia? Oke, mungkin ada yang namanya norma agama, tapi apakah setiap orang harus mengikuti norma agama yang sama? Dan siapa yang menciptakan norma agama? Manusia yang menafsirkan firman atau perkataan Sang Pencipta kan? Tapi tolonglah, aku nggak mau berdebat soal agama, karena postingan ini nggak bakal selesai kalau itu terjadi.

Menurutku, jika seorang lelaki mengutarakan kalimat seperti, "Setelah nikah nanti, kamu bakal hidup enak, kamu nggak usah kerja. Cari uang itu tugasku. Tanggung jawabmu ya di dapur dan urusan anak-anak". Ini seolah  merendahkan derajat wanita. Bukan perihal "di dapur dan urusan anak" yang perlu dihighlight, karena seandainya itu perkerjaan pilihan sang istri, itu tetap mulia dan sah-sah aja. Tapi, yang perlu ditekankan di sini adalah kalimat itu berisi "perintah". Bukan pertanyaan, apakah sang istri juga punya pemikiran yang sama. Jadi menurutku jelas, tipe lelaki seperti ini menjunjung tinggi budaya patriarki, dimana dia menganggap derajatnya lebih tinggi dari wanita, jadi dia berhak menentukan jalan hidup istrinya. Calon suami yang menghormati pasangannya, pasti bakal bertanya dulu dan memberikan kebebasan untuk istrinya memilih.

Aku pikir, urusan rumah-tangga dan anak adalah urusan bersama. Istri nggak bisa membesarkan anak sendiri. Parenting harus dilakukan berdua. Membebankan tanggung jawab sebesar itu hanya pada seseorang, aku rasa sangat nggak adil ya. Bukan hanya dalam hal materi, secara psikologis, kalau keduanya belum siap ya nggak salah menundanya.

Di sisi lain, kalau memang sang istri punya karir yang lebih baik dan pendapatan yang lebih mencukupi daripada suami, aku rasa itu juga wajar di jaman sekarang ini. Wanita bisa membantu mencari nafkah, atau bahkan tulang punggung, tapi itu juga harus berdasarkan kesepakatan suami-istri bersama dan sesuai dengan kapasitas istrinya (bukan berarti suaminya bisa foya-foya sambil goyang kaki di rumah; ya yang sepantasnya, deh. Kalau hidup bersama ya berjuang bersama). Walau pastinya para tentangga dan sanak saudara bakal "was-wes-wos" sana sini. Peduli, apa? Kan bukan mereka yang menghidupi kita.

Akuilah bahwa sekarang struktur sosial udah berubah. Banyak aparat negara dan pemimpin yang berjenis kelamin wanita. Dunia ini udah nggak seperti dulu lagi. Orang-orang yang memegang teguh nilai konservatif memang selalu anti perubahan. Itu juga nggak salah. Kembali lagi, tiap orang punya pandangan masing-masing. Kaum konservatif akan tetap ngotot kalau memang harus ada pembagian tugas lelaki-wanita dalam unit terkecil masyarakat, yaitu keluarga sekalipun. Itu sah-sah aja kalau suami-istri memakai kacamata yang sama. Nah, kadang kacamata yang berbeda inilah yang menyebabkan ketidakharmonisan dalam rumah tangga. Umumnya, baru disadari setelah menikah :)

Hal lain yang pengen aku tekankan di sini, kadang wanita nggak tau tujuan eksistensinya sendiri karena norma yang selalu mengikat, "Istri harus ikut suami." Dengan struktur yang telah berbeda ini, aku rasa udah saatnya wanita bersikap lebih kritis dalam menentukan jalan hidupnya. Berada di rumah dan dibebankan tanggung jawab mengurus anak-anak (hampir) sendirian, apakah kamu siap? Apa memang ini yang kamu inginkan?

Sekali lagi, harus ada pemikiran dan diskusi yang matang sebelum maju ke jenjang selanjutnya.

Tapi kalau para wanitaku tersayang ini telah berpikir matang dan yakin untuk mengikuti suaminya dan mengenakan kacamata yang sama, lalu merasa bisa merealisasikan potensi dan mimpi dengan berada di rumah dan menjaga anak-anak, itu mulia, kok. Itu sama sekali nggak lebih rendah dari wanita yang bekerja di luar. Menjadi ibu rumah tangga jelas pekerjaan yang berat. Kalau dibayar per bulan, gajinya bisa melebihi gaji pegawai swasta, kok!

Jadi, ini sebenarnya maksudku apa sih? Kok membingungkan?

Kesimpulannya, semua tergantung pada pilihan hidup kita. Tergantung keputusan kita untuk memakai kacamata yang mana. Pria seharusnya memberikan kebebasan untuk wanitanya, karena jaman udah berubah. Mendikte peran masing-masing itu semacam suatu tindak pelecehan. Selain itu, wanita juga harus cukup kritis dalam menentukan tujuan dari eksistensinya.

Ingin jadi Ibu Rumah Tangga? Bagus sekali!

Ingin berkarir di luar? Bagus sekali!

Intinya ya nggak ada pembagian peran yang mutlak. Suami-istri sebaiknya saling kompromi. Anak-anak tetap nggak boleh terlantar, dan yang mengurusnya bukan hanya istri, tapi ini tanggung jawab bersama. Karena saat lelaki dan wanita memutuskan untuk hidup bersama, mereka saling menghormati pilihan masing-masing, berdiskusi dan sampai di satu titik persetujuan dimana nggak satu pihak pun merasa dirugikan. Keinginan mendominasi, baik dalam diri pria maupun wanita, sebaiknya dibuang jauh-jauh. Kalian pernah dengar kan, kalimat di bawah ini?

Satu hal yang berpotensi untuk membunuh setiap hubungan: EGO

Berbahagialah kalian yang memakai kacamata pemahaman yang sama dengan pasangan kalian.

-ASA-

No comments:

Post a Comment